Invest Money

Rabu, 13 Juni 2012

Kisah Tukang Sate Yang Rindu Perbaikan Nasib Bangsa


Kisah Tukang Sate Yang Rindu Perbaikan Nasib Bangsa

Posted by Ahmad Haes on January 10, 2012 · 6 Comments





Di kantor majalah Kalisa.

Pengantar: Kisah ini terjadi antara tahun 2000 sampai 2005. Seorang lelaki setengah baya bernama Slamet Abdul Hamid, yang biasa dipanggil Cak Hamid atau Cak Met, pemilik sebuah warung sate hot plate cukup besar di Jobang, Jawa Timur, berangkat sendirian ke Jakarta. Niatnya? Menawarkan konsep untuk perbaikan nasib bangsa. Kepada siapa? Siapa pun orang penting yang ada di Jakarta, apakah pejabat sipil atau militer, para tokoh di DPR, atau presiden sekalian, yaitu Gus Dur dan atau SBY.

Konsep apa yang ditawarkannya?

Darul-Arqam, dan… Revolusi Pancasila! Wah, macam apa itu?

Baca kisah di bawah ini!

Waktu itu, tak lama setelah peristiwa tsunami Aceh, saya bertemu dengannya untuk kesekian kali.

Sejak tiba di Jakarta, Sabtu senja tanggal 5 februari 2005, Cak Met alias Cak hamid, alias Slamet Abdul Hamid, sudah bertamu ke sejumlah tempat dan bertemu sejumlah orang, baik orang-orang penting maupun yang dianggap tidak penting.

Selama di Jakarta ia tinggal di sebuah penginapan di daerah Pulogadung, yang kemudian menjadi markasnya, entah sampai kapan. “Saya tidak akan pulang sebelum bertemu SBY,” katanya.

Hari Ahad siang, kami bikin janji untuk bertemu di Kantor Wakil Pemda Aceh di Jalan Indramayu, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Setelah menunggu cukup lama, kami bertemu dengan Bu Hafni, salah satu Wakil Pemda Aceh itu, dan suaminya, Azwir. Cak Met pun mulai ngoceh memaparkan gagasannya, yang ternyata disambut baik oleh Bu Hafni dan suaminya. Mereka kemudian meminta Cak Met datang ke DPR untuk menemui seorang tokoh Aceh bernama Malik Raden pada hari Selasa.

Hari Senin, Cak Met bikin janji dengan saya untuk bertemu di gedung Indonesia Power, untuk menemui Egi Sujana. Di sana, selain bertemu dengan Egi, ia sempat mejeng berfoto dengan Dita Indahsari, yang konon akan memimpin demo di DPR, menuntut SBY mundur, karena program seratus harinya dianggap gagal. Selain itu, yang cukup penting, Cak Met bisa bertemu dengan Abdul Aziz Hasan, direktur Indonesia Power, yang bisa dititipi foto kopi sertifikat tanahnya di Jombang, yang akan dijual untuk biaya da’wah.

Keluar dari Indonesia Power, kami berangkat mencari rumah Wakil Ketua MPR, Muhaimin Iskandar. Cak Met berulang-ulang mengatakan bahwa Muhaimin memintanya datang begitu ia tiba di Jakarta. Tapi, ketika sampai di rumahnya, ternyata Muhamin, lewat pemuda sarungan dan bertopi haji, bilang bahwa ia sibuk. Tapi Cak Met tidak lantas kecewa. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tidak bisa bicara dengan Muhaimin, apa boleh buat, pembantunya itulah yang diguyurnya dengan gagasan yang memang sudah membanjir dari kepalanya itu. Saya tertawa dalam hati, antara geli dan kagum. Gila benar ini orang. Tak pandang bulu! Siapa pun disikat. Ngerti tak ngerti, masa bodoh. Ah, jangan-jangan begitu juga yang dilakukan Rasululah. Bukankah para pengikut awal beliau adalah kaum budak?

Seharian itu, kami hanya mutar-mutar di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dari rumah Muhaimin Iskandar, kami mencari Gran Melia Hotel, tempat Ihsanuddin Noorsy meminta Cak Met datang. Di atas ojek, kami diguyur hujan deras. Disaksikan para satpam dan PM yang jadi penjaga di situ, kami masuk dengan pakaian basah kuyup. Mereka tak berani mengusik. Mungkin mereka berpikir, biar kelihatan jelek-jelek dan basah kuyup, kalau berani masuk hotel dengan langkah cuek, pasti orang berduit juga. Dugaan seperti itu bahkan boleh jadi semakin menumpuk tebal di otak para pelayan kafe ketika Cak Met yang pernah bekerja di kapal dan ahli berbagai masakan Eropa begitu fasih menyebutkan berbagai hidangan dalam bahasa Prancis. Saya sendiri cuma bengong. Saya pikir dia pesan makanan aneh. Tahu-tahu yang muncul cuma telur dadar dan kentang goreng!

Di hotel tersebut, di sebuah kafe, kami ngobrol dengan Ihsanuddin Noorsy, yang agaknya teman sepengajian Cak Met, mengaku tetap punya komitmen dengan pengajian dan terus berjuang dengan caranya sendiri. Obrolan dengan cepat bisa bersambung. Ihsanuddin Noorsy yang mengaku sempat ikut ngaji sampai tingkat lima, sepakat dengan Cak Met bahwa penerapan Al-Qurãn tak butuh eksperimen lagi, karena percontohannya sudah selesai dilakukan Sang Rasul.

Dari hotel, kami berpisah. Saya ke Ciputat, dia ke Pulogadung. Katanya, di sana sudah menunggu teman-temannya, yaitu Alimudin dari Sidoarjo, dan Pak Sufyan dari Lampung.

Esoknya, Selasa, berempat kami ke DPR, menemui Drs. H. Malik Raden. Sayang, beliau harus menerima tamu begitu banyak. Namun, waktu sekitar seperempat jam dimanfaatkan Cak Met untuk ngoceh.

Ketika itu Cak Met menawarkan gagasan untuk membuat sebuah perkampungan khusus di Aceh, untuk membina para korban tsunami menjadi kader-kader bangsa yang unggul. Ia berharap para tokoh Aceh mengajukan gagasan itu kepada pemda Aceh dan juga pemerintah pusat.

Pada akhir pemaparan Cak Met, Malik Raden berkomentar, “Wah, ini memang yang kami tunggu. Selama ini tak pernah ada yang membawa pemikiran seperti ini. Sejak peristiwa tsunami itu, ulama kami pun bingung. Tak tahu apa yang harus segera dilakukan.”

Ketika kami pulang ke jurusan masing-masing, Cak Met masih berkeliaran di lingkungan Gedung DPR/MPR, Senayan. Dia seperti macan rakus yang tak tahu kenyang. Siapa pun dijadikan mangsanya. Syukur akhirnya ia dapat mangsa besar juga, yaitu sang ‘pemilik’ gedung itu sendiri, alias Hidayat Nurwahid, Ketua MPR. Mereka sudah lama saling kenal. Cak Met langsung menerkam, menjabat tangan sampai lama. Sampai kemudian sang Ketua MPR mengajak Cak Met mampir ke rumahnya. Tapi, cerita selanjutnya ternyata kurang menggairahkan. Hidayat Nurwahid kurang setuju gagasan Cak Met. “Kita, umat Islam, cukup lah dengan mewarnai saja,” begitu kira-kira kata Sang Ketua MPR.

Malamnya, Cak Met, Pak Sufyan, dan Alimudin, datang ke sebuah rumah teman pengajian di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Menurut ceritanya, malam itu Alimudin menyampaikan presentasi gagasannya, yang sudah diagendakan jauh-jauh hari. Tapi rupanya kehadiran Cak Met dan Pak Sufyan tidak disia-siakan. Mereka pun didaulat untuk bicara. Saya sendiri tidak hadir malam itu, karena mengantuk setelah begadang semalaman..

Cak Met sendiri agak terkejut dengan reaksi teman-teman Pondok Pinang. Dukun mereka (begitu Cak Met menyebut pemilik rumah) yang biasanya mengolok-olok pemikiran Cak Met, malam itu berulang-ulang menyatakan dukungan. Otomatis anak-anak Pak Dukun pun ikut mendukung, bahkan minta proyek Cak Met diagendakan jadi salah satu program bersama.

Hari Kamis, saya menemani Cak Met bertemu Sholahuddin Wahid, adik Gus Dur, di rumahnya di Jalan Radio Dalam. Gus Wahid menawari Cak Met mangkal di rumahnya. Kalau mau, besok akan dibelikan komputer, katanya. Atau, bagaimana kalau di kantor PBNU, di Kramat? Cak Met bilang, nantilah, saya pikirkan dulu.

Dari rumah Gus Wahid, Cak Met pergi ke tempat lain. Saya sendiri langsung pulang. Esoknya, Jum’at, Cak Met datang ke tempat saya. Lalu cerita pengalamannya berdialog dengan salah seorang temannya, yang juga mendukung gagasan Cak Met tentang Darul-’Arqam yang merupakan lembaga pembinaan mu’min super intensif.

Kemudian, di tempat saya, Cak Met memaparkan lagi gagasannya di papan tulis. Meminta agar gagasannya dikawinkan dengan gagasan Alimudin. Saya lihat, Alimudin memang brilian dalam mengungkap apa yang tersirat dari Hadis kal-jasadi, sampai diurainya menjadi sistem penataan hidup. Tapi Alim seperti lupa bahwa sistem itu tidak bisa dijalankan oleh sembarang orang. Justru karena itulah, Cak Met yang tampil dengan gagasan Arqamnya menjadi sangat pas mengisi kelemahan gagasan Alim. Pendek kata, gagasan Alim dengan gagasan Cak Met ibarat orang botak ketemu topi. Jadi, memang layak dikawinkan.

Sabtu, tanggal 12, Cak Met menginap di tempat saya. Saya sendiri begadang, mengetik oret-oretan Cak di papan tulis. Esoknya, dia pergi entah ke mana.

Senin, sekitar pukul sembilan pagi, dia datang pula. Lalu pergi ke UIN, Ciputat, untuk mengetik bukunya di sebuah rental. Hal itu harus dilakukan karena saya menganjurkan agar bukunya dicetak dengan format besar, dan huruf besar-besar, supaya orang tertarik untuk segera membaca. “Isi buku ini bagus. Sayang kalau orang tidak mau membacanya,” kata saya.

Tak lama kemudian, ia kirim SMS. “Saya lagi guyon dengan Ajzumardi Azra, dan Purek (pembantu rektor) I,” katanya.

Ternyata proses pengetikan berlangsung lama. Cak Met harus begadang di rental. Tapi macan lapar ini rupanya dapat lagi dua mangsa. Kali ini dua orang mahasiswa. Salah satu mangsanya adalah pemuda NU bernama Taufik, kuliah di jurusan humaniora, semester sepuluh. Pagi harinya, Selasa, Cak Met membawa Taufik ke tempat saya.

Rupanya Taufik sangat tertarik dengan gagasan Cak Met, terutama tinjauan sejarahnya. Tapi ia mengatakan bahwa gagasan itu pasti ditolak para tokoh dan masyarakat. Yang satu, para tokoh, akan menolak karena mereka juga punya gagasan sendiri. Yang lainnya, masyarakat umum, akan menolak karena mereka masih bodoh. Tapi Taufik mendukung perjuangan Cak Met, dan minta kepada saya agar ia dikabari terus tentang perkembangan yang dicapai Cak Met. Selain itu, ia juga memberikan nomor-nomor telepon sejumlah tokoh penting, termasuk di antaranya tokoh yang masuk Tim Sebelas SBY.

Ketika Taufik tertidur di atas sofa, saya mewawancarai Cak Met habis-habisan untuk mengorek pemikirannya. Sekitar pukul empat sore, Cak Met dan Taufik balik ke kampus UIN, tepatnya ke rental komputer, untuk ngeprint dan foto kopi.

Hari Rabu, Cak Met kirim SMS. “Aku di BAPPENAS, nunggu menteri. Tolong bawakan surat pengantar.”

Surat pengantar yang dimaksud adalah surat bikinannya sendiri, yang terbawa dalam tas saya. Saya segera mengambil surat itu, lalu menysulnya ke BAPPENAS. Ternyata Bu Menteri (Sri Mulyani) tidak ada. Konon sedang ke luar negeri. Cak Met meninggalkan proposalnya yang sudah digabung dengan proposal Alimudin, sehingga menjadi cukup tebal.

Dari BAPPENAS kami, untuk kedua kalinya, pergi ke gedung Indonesia Power, untuk bertemu Abdul Aziz Hasan. Hari itu, dengan foto kopi sertifikat tanah yang sudah sekitar seminggu dititipkan, niatnya Cak Met mau pinjam uang barang lima juta. Eeh, jebule (tahu-tahu) dia cuma dikasih uang seratus ribu. Katanya sih uang pulsa.

“Lho, bagaimana ini? Kita kok malah dikira pengemis ‘gini? Tapi ya gak apa-apalah, wong dia belum ngerti,” kata Cak Met ketika keluar dari gedung Indonesia Power.

Tapi, toh Abdul Aziz Hasan menyuruh temannya yang tinggal di Surabaya untuk memeriksa tanah Cak Met di Jombang. Ketika sang teman bertanya untuk apa tanah itu nanti, kalau mereka beli, Abdul Aziz Hasan bilang, “Untuk apa saja lah. Mungkin untuk panti asuhan.”

Dari Indonesia Tower, saya pulang. Cak Met ke kantor PBNU. Pukul 18:20 dia kirim SMS: “Aku barusan, setelah dari NU, ke Sekretariat Kerukunan Antar Umat Beragama, terus ke PP GP Anshar, sekarang di DDI, Dewan Dakwah Indonesia. Proses sosialisasi semua positif.”

Kamis, 17 Februari, pukul 06:36, ketika saya sedang mengetik wawancara di bawah ini, Cak Met kirim SMS, mengabarkan bahwa pagi harinya ia mau pergi ke Sekneg, dan setelah itu (pukul sebelas) mau ketemu Gus Dur di kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Tak lama kemudian dia kabarkan pula bahwa prersentasinya di Sekneg berjalan sangat “ekspektatif” (sesuai harapan). Lalu dia tanya apa saya tidak mau menemaninya bertemu Gus Dur. Saya bilang, “Gus Dur gak penting bagi saya. Yang penting itu omongan anda dalam kaset. Saya sangat suka itu. Karena itu, saya harus mengetiknya, supaya bisa dibaca banyak orang.”

Saya mengetik dari pagi sampai sore, sampai mata terasa sakit. Alhasil, inilah wawancara dengan Cak Met di tempat saya, hari Selasa, tanggal 15 Februari. Saya membukanya dengan pertanyaan tentang pengalaman Cak Met berbicara dengan orang-orang non-Muslim.

Ketika anda menawarkan gagasan ini kepada orang-orang non-Muslim, para pendeta misalnya, bagaimana tanggapan mereka?

Awal-awalnya, yaa anu, biasalah, mereka menolak. Tapi ketika saya giring kepada kualitas amal ibadah kita di mata “Allah” (Cak Met mengucapkannya seperti cara orang Kristen) sudah seperti sampah, sehingga tidak ada lain kecuali kita melakukan taubat, mereka bisa menerima. Saya bahkan memperhatikan bahwa kata taubat itu akhirnya dimunculkan oleh mereka sendiri. Bahwa dalam Injil Lukas, orang beriman itu harus lahir kembali, itu indikasi bahwa dia sudah mengamini apa yang saya sampaikan.

Anda memulainya dari mana?

Proses yang biasa saya lakukan adalah meyakinkan mereka bahwa umat Kristen abad ini dengan umat Islam abad ini sebenarnya senasib sependeritaan. Itu yang tidak diketahui oleh umat Kristen maupun umat Islam, yaitu sama-sama dihipnotis, sehingga tersesat dalam satu pemikiran agama atau utopia Platonisme, menjadi mabuk kepayang. Saya beri contoh, ajaran Kristen itu selalu menganjurkan untuk hidup saling kasih. Dalam Islam, juga ada ajaran tentang ikhwatun (persaudaraan), atau ruhama’u bainahum (saling sayang di antara mereka), atau kal-jasadil-wahid (seperti satu tubuh), dan banyak lagi; yang maksudnya sama seperti hidup saling kasih itu. Tetapi, yaa inilah realitas! Kristen sudah melakukan pengumuman 2000 tahun lebih untuk hidup saling kasih sayang itu. Juga tidak bisa jalan, tidak bisa diwujudkan. Padahal itu dikumandangkan di gereja setiap hari Minggu, dalam setiap kebaktian. Ironis sekali. Ini ngolok (mengolok-olok)Tuhan namanya.

Jadi saya harus balans ketika bicara tentang Islam dan Kristen. Makanya topik senasib itu tadi. Jangan sampai berat sebelah.

Kemudian bagaimana mengajak mereka memahami bahwa missi Isa itu sama dengan missi Muhammad, Musa, Harun, Ibrahim, dan seterusnya. Biasanya saya tanya, “Allah yang dimaksud orang Kristen itu beda nggak dengan yang disebut orang Islam? Maksudnya, personnya dua atau satu? Mereka selalu mesti (pasti) menjawab satu. Kalau mereka menjawab satu, sekian persen (‘kemenangan’) sudah ada di kantong. Dengan demikian, benarlah bahwa Yahudilah yang melakukan pemutar-balikan yang membuat Kristen dan Islam menjadi dikhotomis. Padahal Tuhannya sama. Ini kan nggak logis. Sehingga Injil (Bible) itu dianggap orang Islam tidak sempurna, dan Al-Qurãn menurut Kristen tidak perlu ada, karena Injil sudah sempurna. Maka di dalam ajaran Gereja itu selalu dikatakan “tidak ada keselamatan di luar Gereja.” Kemudian dalam Islam ada ayat yang menyatakan bahwa Kristen itu salah, karena menyatakan Yesus itu anak Allah, padahal dia lam yalid walam yulad (tidak melahirkan, dan tidak dilahirkan). Ini, dua-duanya ini, terjemahan seperti ini, hasil rekayasa Yahudi, yang targetnya memang mendikhotomikan Islam dan Kristen di kemudian hari. Ini panjang ceritanya.

Akhirnya saya urai semua (buku Revolusi Pancasila-nya). Kemudian saya ajukan logika SD, bahwa kalau Allahnya satu, kemudian bikin konsep untuk Musa dan Daud, namanya Zabur dan Taurat, kemudian oleh orang Kristen, ketika menjadi jamaah Injil, dikatakan Taurat dan Zabur itu belum sempurna. Karena itu Allah kemudian melengkapi Taurat dan Zabur itu dengan (diajarkannya) Injil. Kemudian setelah Isa meninggal, Allah bikin lagi untuk Muhammad dan umatnya, namanya Al-Qurãn. Kata orang Islam, Al-Qurãn lah yang menyempurnakan Injil. Yaa sudah, kalau begini, semua menyatakan benarnya sendiri.

Penjelasan itu, dengan menggunakan logika SD saja, menjadi salah semua. Masak Allah dengan segala kemahaanNya itu membikin konsep hidup umatnya, manusia, melalui utusan-utusanNya, fungsi konsep itu menata kehidupan yang sama, di bumi yang sama, kemudian Allah salah-salah. Masak Allah begitu, seperti mahasiswa tingkat akhir, kalau bikin skripsi suka salah-salah, perlu direvisi. Nah, ini suatu penjelasan yang tidak ilmiah, tidak logis.

Itu satu. Kemudian saya tambahkan lagi bahwa Al-Qurãn dan Injil itu plek (persis) sama. Foto copy. Nanti kalau sampeyan baca terjemahan Al-Qurãn, jangan lihat bahasa Arabnya, itu sama dengan Injil. Itu baru terjemahannya yang kita lihat. (Tapi) saya berani menyatakan bahwa Injil dan Al-Qurãn itu bahasa aslinya mungkin sama. Kenapa? Karena bahasa Al-Qurãn itu ternyata banyak orang Arab tidak mengerti. Begitu juga dengan bahasa asli Injil, hanya para rabbi yang mengerti. Jadi, saya rasa, bahwa Al-Qurãn, Injil, Taurat, Zabur, bahasanya sama. Bahasa apa? Yaa bahasa wahyu.

Jadi, dari Tuhan yang sama, disampaikan oleh rasul-rasulNya yang sama, dengan target yang sama, manusia di bumi yang sama. Yang beda kurunnya saja.

Orang-orang Kristen yang saya tanya bahasa Injil yang asli itu berbahasa apa, mereka selalu menjawab bahasa Yunani. Ini jelas nggak logis; karena Yesus lahir di Bethlehem, lalu dibawa ke Mesir, kemudian ke Nazaret, lha kemudian kitabnya kok bahasa Yunani?

Akhirnya mereka paham bahwa “Ternyata anda belajar Kristen tahun 1900 sekian, yaa wajar kalau tidak tahu seperti apa Injil di tangan Isa dulu. Begitu juga saya. Saya belajar Al-Qurãn tahun 1900 sekian. Guru saya juga begitu. Baru gurunya guru saya belajar tahun 1800an.” Dan perlu diketahui bahwa Islam ini juga dihancurkan Yahudi pada tahun 660, seperti halnya Injil diporak-porandakan sejak tahun 1. Sudah 2000 tahun. Jadi wajar kalau kita sama-sama kehilangan arah.

Kemudian saya tambahkan lagi dengan segi keturunan. Ternyata leluhur Muhammad ini juga leluhur Isa. Muhammad itu dari Bani Hasyim, dari Adaniyun, dari Arabah, dari Ismail, dan ternyataI Isa juga turunan Ismail. Sehingga tidak mustahil Injil dan Al-Qurãn itu satu bahasa, bahasa Ibrahim.

Mereka tidak membantah?

Nggak. Setelah kita sebutkan bahwa yang diedarkan oleh Yahudi diaspora ini, Old dan New Testament, yang Hebrew dan Yunani itu, maka itulah yang kita terima. Sehingga logis sekali kita nggak tahu seluk beluknya sebelum tahun 1900 sekian itu. Inilah yang menyebabkan kita menjadi sampah semua. Injil tidak menjelaskan bagaimana Yahudi secara detail, begitu juga Al-Qurãn. Tapi tak sedikit ayat Al-Qurãn yang menyinggung umat Injil dan Al-Qurãn mengatakan bahwa Yahudi itu perusak. Ia menjadi duta Iblis dalam melanjutkan tongkat estafet perusakan, mewakili keburukan. Begitu setiap rasul. Nah, sekarang ini periode kejayaan dia. Berarti kita dalam ketiak dia. Apa pun yang kita lakukan adalah dalam rangka sujud kepada Yahudi.

Karena itu, marilah bertaubat.

Tentang peran Yahudi itu, mereka nggak bantah juga?

Nggak.

Biasanya orang Kristen kan bersimpati pada Yahudi.

Nggak juga. Kalau yang tingkat-tingkat pendeta itu ternyata mereka paham. Mereka tahu bahwa yang menyidang dan menyalib Yesus itu kan Yahudi. Mereka juga tahu bahwa Injil meminta mereka untuk mewaspadai Yahudi. Merekalah yang membuat Injil menjadi dongeng. Dikatakan Yesus menyembuhkan orang buta mata, padahal sebenarnya buta hati nuraninya. Maka dengan sentuhan Injil itu mereka menjadi melek terhadap norma baik dan buruk. Isa menghidupkan orang mati, juga bukan mati fisik tapi jiwanya. Disentuh dengan Injil, hidup kembali. Kok jadi dongeng. Makanya sekarang umat Kristen di mana-mana banyak yang jadi dukun. Banyak pendeta yang mendemonstrasikan penyembuhan ala dukun. Memangnya Injil itu kitab ilmu perdukunan? Mereka bilang, betul Pak. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Saya bilang, marilah kita cari jati diri bangsa ini. Siapa diri kita ini sebenarnya.

Lalu saya bawa mereka ke sejarah bangsa, pada kesadaran bahwa segala yang ada ini adalah produk Allah. Biasanya, sebuah produk selalu disertai dengan guiden book bagaimana untuk mereparasinya. Maka tugas kita serakang marilah bertekad untuk memperbaiki diri dan bangsa.

Apa yang kita bawa? Alkitab. Kenapa selalu saya sebut Alkitab? Karena Alkitab adalah Al-Qurãn yang sudah eksplisit. Memang banyak kiai yang mepertanyakan kenapa saya gunakan istilah Alkitab, karena itu istilah Kristen.

Padahal mereka mengambil dari kita kan?

Ya. Saya ceritakan semua pada orang Kristen bahwa Injil itu Alkitab, bahwa Al-Qurãn itu Alkitab, bahwa Injil itu Al-Qurãn, bahwa Al-Qurãn itu Injil. Saya sitir saja surat Al-Baqarah ayat 136 itu. (Tegaskanlah oleh kalian, “Kami beriman dengan ajaran Allah; yakni ajaran yang diturunkanNya kepada kami, yaitu yang dulu diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub, dan para pelanjut mereka, yang juga telah diajarkan kepada Musa dan Isa, yakni ajaran yang telah disampaikan kepada para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan yang satu dengan yang lain di antara mereka; karena kami hanyalah orang-orang yang patuh terhadapNya).

Tapi Yahudi memutar-balik pengertian ayat ini, sehingga kita merasa mengabdi Allah, padahal sebenarnya mengolok Allah sepanjang zaman.

Tapi kalau berangkatnya dari Al-Qurãn, berarti itu kan sudut pandang Bapak sebagai orang Islam?

Makanya saya selalu mengutip ayat-ayat Injil, karena saya sudah menyatakan Al-Qurãn dengan Injil sama. Ketika Al-Qurãn menyatakan orang beriman itu begini-begini, Injil mengatakan begitu juga. Cuma ke depan memang agak sedikit sulit, karena ternyata makin ke depan yang kita ajukan adalah Al-Qurãn. Saya bilang, karena Al-Qurãn dan Injil itu sama sampai ke bahasanya, maka tugas umat Islam adalah melacak pengertian yang benar. Sedangkan tugas anda (orang Kristen) adalah temukan Injil yang asli. Jika tidak ditemukan, yakinlah bahwa Injil itu Al-Qurãn. Sebab itu tadi logikanya. Bukan Allah itu membikin Injil dan Al-Qurãn berbeda.

Ya, tapi kan pertanyaan berikutnya adalah posisi kami sebagai orang Kristen, Protestan dan Katolik itu di mana?

Saya membawanya ke dalam kondisi di Madinah. Dalam kondisi Madinah itu, ketika sistem Al-Qurãn ditegakkan, deklarasinya ditandatangani tokoh semua umat. Ada Yahudi, ada Nasrani. Kenapa mereka menandatangani? Karena sistem yang ditegakkan itu adalah sistem ketaatan kepada Allah. Tidak lain. Yaa walaupun belakangan Yahudi mengkhianati, itu memang dasar Yahudi pengkhianat. Tapi ini bicara tentang ketaatan kepada Allah. Siapa pun yang dalam hati nuraninya ada keinginan untuk mentaati Allah, di sinilah tempatnya. Maka saat itu, orang Kristen juga menandatangani.

Kalau begitu, artinya kan mereka mengakui sistem Al-Qurãn?

Yaa, mengakui. Artinya bahwa hidup dengan sistem Al-Qurãn itu sudah sama dengan mengabdi kepada Allah.

Lalu bagaimana dengan ritual-ritual gereja dan semacamnya?

Nah, itu kadang-kadang saya sendiri membayangkan… Jadi kalau dalam konteks Madinah harus ada data, ya begitu. Tapi saya yakin begini: bagi grass-root (kaum awam), yang memang tidak dan belum paham tentang fungsi Injil dan Al-Qurãn yang (sama) itu, yaa mereka masih melakukan kegiatan ritual itu.

Artinya sistem Al-Qurãn ini tidak menggusur gereja kan?

Nggak. Nggak menggusur gereja. Tapi para tokohnya itu sebenarnya, yaa metodologinya sudah berubah lah, sehingga sistem itu tetap tegak. Yang dimaui Al-Qurãn itu tetap tegak, walaupun ada ritual-ritual yang sifatnya kamuflase itu. Orang-orang Islam sendiri memang sudah pas. Tapi tokoh-tokoh Kristen akan menyesuaikan diri.

Artinya kalau kembali kepada kerja Yahudi, bukankah gereja itu salah satu produknya?

Yaa mungkin karena Rasulullah itu hanya sepuluh tahun ya? Kalau tidak, mungkin proses penghapusan secara evolusi itu bisa terjadi.

Kalau begitu tetap saja, pada dasarnya kita melakukan Islamisasi.

Ya iya. Tapi kan ada penjelasannya. Tidak ada paksaan. Intinya kan itu yang penting. Menyadari jati diri dan menyadari kewajiban manusia kepada Allah, tuhannya.

Kalau yang berlaku pada dasarnya adalah Islamisasi, berarti agama-agama yang lain harus hilang?

Pada kurun waktu tertentu, kalau andaikata umur Rasulullah itu panjang ya, saya yakin iya. Saya yakin iya.

Dalam konteks sekarang, kita Indonesia ini, bagaimana?

O, nanti ya? Saya kira seperti sepuluh tahunnya Rasulullah itu.

Saya berpikir begini, Pak. Orang-orang non-Islam itu tetap akan menolak, karena toh prospeknya, ke depannya, mereka akan hilang.

Iya. Tapi kan hilangnya itu atas dasar kesadaran, atas pemahaman, bukan atas keterpaksaan, atau karena menjadi marjinal atau dimarjinalkan.

Ya tapi kan tetap saja, ‘judulnya’ mereka tetap akan dihapus.

Pada akhirnya hapus. Otomatis.

Ya di situ saya melihat benih penolakan itu akan muncul dari situ.

Ya, mungkin kalau kurun kedua itu bisa berlaku satu generasi, 50 tahun. Lalu kurun beri-kutnya, Kristen-Kristen itu akan dimunculkan lagi oleh Yahudi.

Ya, artinya kan kita, dengan proyek ini, secara sistematis berusaha menggusur agama-agama yang ada.

Betul.

Berarti kita akui itu secara jujur kan?

Iya. Untuk konsisten, konsekuen, mengabdi kepada Allah dengan kitab-kitabNya. Nah, syukur nanti di dalam perjalanan kita menemukan Injil. Atau kita pinjam Injilnya orang (Kristen) Ortodoks itu, bahasa Arab itu.

Tapi kan pada saat yang sama orang Kristen pun berpikir seperti itu. Mereka pun secara sistematis ingin menggusur semua agama, sehingga yang tertinggal cuma Kristen.

Makanya, fair. Ini terbuka. Anda bisa melakukan itu dengan Injil yang asli, bukan hasil tangan Yahudi ini, Old dan New Testament ya. Itu tugas anda, dan termasuk tugas kami untuk menemukan Injil dengan teks aslinya.

Bagaimana kalau mereka tidak mau melakukan itu?

Ya, kalau ternyata Injil aslinya tidak ada, ya apa boleh buat doong? Lha wong Injil dengan Al-Qurãn sama. Tidak mustahil akhirnya mereka bisa menerima Al-Qurãn. Kalau mereka ajukan Injil bahasa Yunani yang katanya itu aslinya, sudah jelas itu palsu juga. Kenyataannya yang saya jumpai umumnya mengakui kenyataan itu. Hesron Sitio, misalnya, dia berkata, “O, jadi begini, ini nanti yang terjadi bukan urusan siapa-siapa. Bukan urusan Katolik, Protestan, Bethel, tapi urusan Hesron Sitio dengan Allah, Tuhannya.” Itu terucap, dan itu sering saya dengar.

Siapa itu Hesron Sitio?

Itu nama pendeta di Jawa Timur, yang menyatakan siap diundang dalam diskusi nasional, yaitu tahap kedua dari proyek kita. Begitu juga Mr. Daud. Sampai pada titik nggak ada urusan dengan Kristen, karena kristen sudah seperti itu diraciknya (oleh Yahudi). Cari buku aslinya juga sulit. Taat kepada Allah juga nggak, sudah ribuan tahun.

Baru-baru ini saya ikuti acara peluncuran buku penerbit Mizan. Pembahas yang ditampilkan adalah Khaidar Bagir dan Romo Moko. Di situ ada seorang wanita, mengaku muslim(ah), dia bilang inti dari semua agama itu kan spiritualitas. Apa nanti anda tidak mengarah ke situ?

Yaa kalau dipahami Injil adalah kitab agama, yaa spiritualitas kembali. Tapi kalau kita sosialisasikan bahwa Injil dan Al-Qurãn itu adalah konsep hidup, dengan begitu konsisten kita lakukan sosialisasi, melalui berbagai media, nggak sulit membentuk pemahaman bahwa wahyu Allah itu adalah konsep hidup. Atau dari konsep spiritual menjadi konsep hidup.

Ya, ya. Tapi yang saya khawatirkan itu mereka pada akhirnya menyimpulkan bahwa hidup ini sebenarnya tidak perlu agama.

O, ndak. Sebab penjelasan kita nanti gamblang sekali. Bahwa dïn itu adalah sistem, bahwa konsep Allah ini untuk menata kehidupan pribadi, rumahtangga, masyarakat … Itu harus terbentuk struktur pengaturan, struktur pembina, pengurus.

Ya, pada akhirnya kita kan merujuk pada sunah rasul Muhammad.

Ya, mau nggak mau kembali ke situ.

Justru itu, saya melihat keberatan mereka di situ. Sebab, dinyatakan atau tidak, mau nggak mau, agama-agama lain itu harus tergusur.

Itu kita lihat nanti lah. Yang saya temukan juga memang mereka agak terpaksa. Misalnya ketika saya ajukan Pancasila, kenapa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah itu, kenapa hikmah itu harus Al-Kitab, yaitu Al-Qurãn? Saya bilang, ya sekarang mana kitab anda? Cari! Kalau nggak ketemu, ya pakai kitab Allah yang lain ini (Al-Qurãn). Wong sama kok! Mereka tidak terlalu menolak, selama masih demi kemakmuran, dan ketaatan bangsa Indonesia kepada Allah.

Kalau dengan Franz Magnis Suseno, pernah terjadi dialog apa?

Yaa dia itu kan orang filsafat. Tapi saya bilang, teori apa pun, konsep apa pun, kan harus dibakukan menjadi standard book. Sedangkan filsafat mana pun itu tidak mempunyai standard book. Hegel kah, Nietzhe kah, apa pun kah, itu tidak mempunyai referensi standar. Yang ada hanya ilusi, halusinasi, intuisi, yang kemudian dijadikan ideologi, abstraksi namanya. Dengan begitu, kalau mau melakukan mimbar nasional, atau internasional, maka jauh-jauh hari filsafat sudah ndak masuk nominasi!

Nggak masuk ya? Alasan pokoknya?

Ya itu tadi, tidak ada standard book. Sebab, tuntutan sebuah ideologi itu harus jelas, harus dibakukan. Kalau tidak dibakukan itu yang terjadi hanya oral, atau argumentatif. Nah, kalau argumentatif, itu bisa terjadi distorsi setiap saat. Maka syaratnya adalah harus dibakukan menjadi sebuah buku yang metosisnatif (metodis, sistematis, analitis, objektif). Banyak nanti buku yang akan diajukan. Ada Das Kapital, Alam Pikiran Yunani, ada lagi itu orang Jepang yang mengajukan demokrasi… Mari, silakan. Tapi nanti akan tereliminasi gara-gara syarat buku ilmiah harus metosisnatif itu. Saya yakin, di forum internasional pun, nanti cuma Al-Qurãn yang bertahan, tapi bukan Al-Qurãn yang dibawa oleh Khumaini atau para kiai.

Kalau ukuran metosisnatif itu sendiri yang mereka tolak, itu kan masalah juga?

Oke, tidak usah metosisnatif. Tapi bagaimana logikanya kalau sebuah buku hanya mendongeng, tidak pernah terbukti, tapi kita ikuti, (bandingkan) dengan buku yang mampu menunjukkan pembuktian, dan kita ikuti. Mana saudara pilih? Nggak usah aturan metosisnatif itu. Dengan logika saja. Mestinya ya harus kita pilih yang bisa terbukti doong.

Jadi, pakai logika anak SD saja ya?

Ya, logika SD. Ini terbukti, ini membual sekian ratus tahun. Ini terbukti. Sejarah belum lupa, karena baru berjalan 1400 tahun sekian.

Kembali kepada Frans Magnis Suseno. Dia kan pastur. Bagaimana pandangan relijiusnya terhadap konsep yang diajukan ini?

Yaa, kalau yang tidak mendukung, paling tidak mereka nggak bisa ngomong. Tapi ketika saya tanya apresiasi spontannya, bagaimana tanggapan anda? Benar atau salah? Dia menjawab, “Yaa, benar lah.” Cukup sudah. Cukup, bahwa ini memang sakti. Tak terungguli. Namanya wahyu Allah, kalau disampaikan dengan bahasa yang kena.

Kalau dengan kiai, punya pengalaman menarik nggak?

Kalau dengan kiai stressnya (penekanannya) kita arahkan pada periode pasca Khulafa’u-rasyidin. Perdebatan dengan mereka biasanya tentang Muawiyah yang dikatakan sahabat Rasulullah yang dijamin masuk sorga, sementara kita memvonis bahwa Muawiyah lah dedengkot perusak Islam itu. Di ini (perdebatan) agak sedikit ulet. Tapi ketika kita buktikan pergeseran aplikasi Al-Qurãn dari tangan Muhammad sampai kepada Khulafa’u-rasyidin, ketika khulafa’u-rasyidin ini diambil alih (Muawiyah), ini tampilannya sudah beda. Ini tidak mustahil jika ada unsur kesengajaan.

Kemudian, dendam apa gerangan sehingga Yazid anak Muawiyah membantai cucu rasulullah? Bila dia mu’min, khalifah, amirul-mu’minin saat itu, pelaksana Al-Qurãn, rasanya mustahil dia berbuat demikian, bila tidak ada motif-motif jahat. Kemudian kita tarik ke atas, jahat nggak sih orang ini kira-kira? Yazid ini ternyata anak Muawiyah, Muawiyah anak Abu Sufyan, Abu Sufyan ini memusuhi Rasulullah. Masuk Islamnya saja taklukkan, sudah nggak berdaya. Jadi wajar kalau anak-anak Muawiyah ini kayak anak-anak PKI di Indonesia.

Membawa dendam sejarah ya?

Aa, dendam keturunan! Nah, itu ternyata yang masuk ke Indonesia, menjadi guru gurunya guru kita. Terbukti Samudera Pasai, kerajaan Islam awal di Indonesia itu ternyata bentuk kerajaan juga. Nah, ini sudah tidak identik dengan Rasulullah. Jadi, masuknya Islam ke Indonesia itu pertama gelombang Muawiyah, kedua Abasiyah, ketiga Wali Songo, dst., yang ternyata mereka semua ini nggak beda dengan pencoleng Cina dan India yang masuk lebih dulu ke Indonesia, merusak alam pikiran dan menjarah. Akhirnya apa? Mereka (para kiai) jadi marah, berkali-kali bilang kurang ajar.

Kemudian tentang Pancasila. Kenapa anda harus mengajukan Pancasila, sementara Pancasila itu kata orang digali Bung Karno dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dan sebagian orang Islam menganggap Pancasila itu tidak Islami?

Bung Karno sendiri lupa bahwa yang merumuskan Pancasila itu ulama. Tapi memang, nurani manusia, siapa pun akan mengakui Tuhan. Walau kemudian ada yang bingung. Seperti Bung Karno, dia juga kan bingung dengan Pancasila yang katanya dia yang menggali itu. Buktinya, ada nasionalis dominan, kelompok beragama dominan, ada komunnis dominan. Pancasila, yang sudah Qurãnis itu menjadi terabaikan.

Ya, di situ pertanyaannya. Kenapa pancasila kok dianggap Qurãnis, sementara yang lain menganggap tidak?

Begini: Kalau kita lihat isi, sila-sila itu kan Qurãnis banget. Di dunia ini nggak ada negara yang berketuhanan yang mahaesa, dan seterusnya, itu terminologi Al-Qurãn semua; sehingga saya katakan itulah anugerah Allah buat bangsa Indonesia. Wahyu yang nyata, istilahnya.

Kalau dilihat penyusunnya, apakah ada kesengajaan untuk memasukkan warna Al-Qurãn ke situ?

Yaa itu naluri. Naluri kemanusiaan bangsa Indonesia, yang sebenarnya sama dengan bangsa-bangsa lain. Tapi ketika dicetuskan dari latar belakang penindasan oleh bangsa-bangsa lain, sehingga bangsa Indonesia sudah punya resistensi terhadap bangsa-bangsa lain di saat (menyatakan) merdeka itu. Cina bikin susah, India bikin susah, begitu juga Arab, Portugis, Belanda. Yang nggak bikin susah cuma Tuhan, sehingga dicetuskan ketuhanan yang mahaesa itu sebagai motto bangsa Indonesia untuk menunjukkan jati diri bangsa, yang interaksinya dengan Tuhan saja, bukan dengan bangsa-bangsa lain.

Kalau begitu, apakah bangsa Indonesia tidak kembali pada spiritualisme atau kebatinan? Apa tidak itu yang menjadi ide dasar Pancasila?

Kira-kira nggak ya, kira-kira nggak. Jadi, ide dasar Pancasila tetap Tuhan saja, ansich begitu. Cuman kan bagaimana konsekuensi kalimat Tuhan atau kata Tuhan itu, yang nanti ditutup atau didistorsi oleh ideologi-ideologi komunis, nasionalis, demokrasi. Terseret-seret dia, sehingga Pancasila itu fungsinya hanya sebagai … yaa persis seperti Al-Qurãn di tangan umat Islam lah. Terabaikan. Ketika ngomong, ya mudah ngomong Pancasila. Kayak umat Islam ngomong Al-Qurãn itu kan mudah. Tapi ketika melaksanakan?

Sekarang saya tanya begini: Mana yang lebih dulu ada dalam jiwa bangsa Indonesia, Al-Qurãn atau Pancasila?

Ya Qurãn dulu doong!

Kok bisa?

Sebab, melalui pembuktian sejarah, manusia menjadi biadab, lupa Allah, dibikin Yahudi. Lalu Al-Qurãn mengingatkan. Karena itu, Al-Qurãn yang akan kita tampilkan dalam konteks keindonesiaan adalah Pancasila.

Nggak. Kalau dilihat dari tinjauan sejarahnya, mana yang lebih dulu masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia, Al-Qurãn atau Pancasila?

Al-Qurãn.

Padahal Al-Qurãn datang dibawa oleh Muawiyah?

Memang. Tapi bukan berarti bahwa informasi yang dibawa Arab itu total nggak berlaku kan? Tetap saja nilai-nilai benar ada di sana. Termasuk kata Allah itu kan nggak salah, kata Muhammad nggak salah. Bahwa Allah mahapencipta, itu nggak salah. Yang salah kan Muawiyah ada interes pribadi ketika menyampaikan ini, sehingga ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya, menurut sunnah rasulnya. Seperti itu. Jadi, Pancasila itu mesti (= pasti) lahir setelah Al-Qurãn. Karena bangsa ini sudah merindukan Tuhan saat ditindas oleh manusia lain, sehingga ingat Tuhan.

Jadi, dengan demikian Pancasila memang bernilai wahyu ya?

Iya, bernilai wahyu.

Jadi, secara tidak sadar bangsa Indonesia merumuskan Pancasila yang, nota bene, inilah inti dari Al-Qurãn, begitu?

Iya. Bisa dikatakan inti, atau sesuai dengan kriterium Al-Qurãn. Jadi, Pancasila itu tidak mengada-ada. Tidak dalam rangka mengakomodir etnis macam-macam di Indonesia. Seperti sila Kerakyatakan yang dipimpin oleh hikmah, hikmah ini jelas Al-Kitab.

Kenapa jadi Al-Kitab?

Yaa hikmah itu kan istilah Al-Qurãn, sebutan bagi Al-Qurãn. Selama ini orang memahami hikmah itu nggak jelas. Akhirnya kerakyatan-nya saja yang diambil, jadi demokrasi, sehingga rakyat dihimpun melalui partai. Perwakilannya yang jadi fokus. Itulah demokrasi. Demokasi Pancasila, begitu. Kacau. Hikmahnya nggak berlaku. Sebagaimana nggak berlakunya Al-Qurãn di tangan umat Islam. Nah, kita (memahamai hikmah) pakai Al-Qurãn, mereka (Kristen) pakai Injil, kalau ada Injilnya. Kalau nggak ada, ya Al-Qurãn saja dulu. Dalam istilah kata, yaa dalam kondisi mendesak… Cari-cari Injil, iya kalau ada… kalau nggak? Yakinkan pada orang Kristen bahwa Injil itu sama dengan Al-Qurãn.

Sekarang ke pengalaman pribagi. Bagai-mana proses lahirnya Pancasila yang versi baru itu?

Saya, memahami apa pun, saya akan coba dengan koridor metosisnatif. Itulah awalnya. Apa pun, saya akan husnu-zhan, jika dipahami dengan Al-Qurãn metosisnatif. Lahirnya Pancasila dengan terjemahan begitu itu, di Yogya. Adib yang ngetik. Saya, sambil baca-baca, sambil apa gitu, saya bilang makna Pancasila yang metosisnatif… coba ya sampeyan ketik, saya kan terjemahkan dengan koridor metosisnatif. Selama ini kan banyak penjelasan tentang ketuhanan yang mahaesa, tapi tidak pakai metodologi. Begitulah. Yaa, karena saya lihat kelebihan pengajian yang saya ikuti itu hanya pada metosisnatifnya. Jauh-jauh hari, ini kalau dipertandingkan di arena internasional, bisa menang gara-gara metosisnatif. Karena itu, metosisnatif itu saya tumbuh-kembangkan pada diri saya, san saya uji-uji lapangan terus. Saya kan harus mencari pembuktian bahwa Al-Qurãn itu paling metosisnatif. Salah satu langkah saya, kenapa saya harus apa namanya… rekonfirmasi terhadap tokoh-tokoh demokrasi, apa iya sih Al-Qurãn itu paling metosisnatif? Ternyata iya. Mereka malah bukunya aja (standar book demokrasi) nggak punya. Nah, begitu juga dengan lahirnya terjemahan Pancasila yang saya buat itu. Mulanya, coba kalau Pancasila dipahami dengan metosisnatif, gimana? Itu nggak usah mikir saya. Sambil baca, Adib ngetik. Dia tanya apa Cak terjemahan ketuhanan yang mahaesa ini? Saya baca teks Pancasila, langsung bilang “A, begini!” Adib langsung ngetik. Nggak ada revisi sama sekali. Yang ngetik Adib, saksinya Agus Lalo, dari Lombok. Jadilah terjemahan Pancasila yang metodis. Kalau yang kemarin (terjemahan orang lain), nggak metodis.

Berarti tafsir Pancasila selama ini memang asal-asalan ya?

Iya. Ya itu tadi, dengan koridor jahat itu, dengan ideologi-ideologi jahat itu. Ya kan mereka punya interes. Kayak Wali Songo. Mereka datang… apa kesenangannya orang sini? Ya itu yang dieksplorasi. Kemudian, orang Barat, Yahudi, ketemu Pancasila. Yang terpikir, bagaimana demokrasi mau mempecundangi Pancasila. Bagaimana Komunis mau mempecundangi Pancasila. Begitu. Makanya saya kok kepengen menampilkan judul bagaimana Pancasila selama ini kok terabaikan, dengan Al-Qurãn sebagai spirit dia bangkit melakukan revolusi. Harus itu kayaknya begitu, dalam visi kita mau membangun iman dan menyelamatkan bangsa.

Jadi, termasuk Orde Baru dengan P4-nya itu sebenarnya mau merusak Pancasila ya?

Yaa, mau mematuhi bossnya si demokrasi ini, sampai lupa bahwa Pancasila itu sudah luhur. Akhirnya hanya menjadi teori-teori retorika. Ujungnya yaa, supaya Pancasila itu nggak berlaku sebagaimana mestinya. Wong ketuhanan, yaa Yahudi ngeri ini. Sebab ketuhanan ini kalau konsekuen saja, Indonesia bertuhan, itu sudah bahaya. Nah, karena itu dibikinlah kamuflase-kamuflase, sehingga Pancasila itu bahkan menjadi fokus, apa itu namanya… asas, yang harus disosialisasikan kepada seluruh bangsa Indonesia, tapi dengan cara yang salah. Tersosialisasi, tapi kropos.

Tapi, kalau Pancasila diposisikan sebagai asas itu, benar nggak?

Kalau definisi asas itu landasan dasar, ya nggak. Harusnya tetap Al-Qurãn. Pancasila itu apa sih… yaa filosofi. Tapi bukan epistemologi. Epistemologinya tetap Al-Qurãn. Filosofinya Pancasila, tapi tidak menabrak Al-Qurãn kan? Kalau ada sila-sila yang menabrak Al-Qurãn, ya nggak usah disebut filosofi. Saya kira begitu. Yaa, saya dalam hal ini hanya sebagai pemantik saja lah. Sampeyan mungkin nanti bisa lebih mengembangkan. Memang saya yakin saya itu pemantik saja. Nanti akan ada orang-orang yang lebih perfect (lengkap, sempurna) menjelaskan itu, atas stimulan yang saya berikan. Sebab saya kan bukan orang argumentatif. Saya ini orang lapangan. Kerja saya babat jalan, bridging (membuat jembatan). Sesudah sampai di tempat, baru insinyur maju, melakukan apa; geologi surveyor melakukan apa, eksplorasi, pengeboran… Ini Al-Qurãn ya. Al-Qurãn itu kan seperti minyak, yang sudah ada di bumi. Ini kan perlu berbagai upaya, untuk mengelurkan minyak itu. Itu banyak ahlinya di Indonesia.

Kemudian, tentang gagasan anda mengajukan Darul-’Arqam sebagai semacam lembaga pembinaan intensif itu, bagaimana mulanya?

Yaa, itu karena saya menangkap materi pengajian… Setelah sekian tahun saya ngaji, ternyata hasil pengajian itu nggak bisa dievaluasi; sehingga pengajian yang saya ikuti itu menjadi beda-beda tipis dengan yang lain-lain. Sama-sama nggak punya target. Sama sama nggak punya alat untuk mengevaluasi. Itu bahasa internalnya. Sehingga memang yang saya sodori untuk memikirkan konsep Arqam yaa (kalangan) internal. Karena kita kan mau koreksi, mau evaluasi diri. Itu suatu sikap yang menurut saya harus. Karena kalau tidak, yaa itu… kita jadi over confident (terlalu percaya diri). Tampiiiil saja, tanpa pernah melakukan koreksi. Sampai saya tidak bisa membayangkan, ketika materi sudah disampaikan, rampung (selesai), sehingga kemudian murid bertanya, “Habis itu apa, Pak? Habis itu apa, Pak?” Ini akhirnya nggak bisa dijawab. Akhirnya apa, yaa kita leles-leles di koran, isu-isu hangat, ditampilkan untuk pertemuan besok. Yang begitu itu pernah saya alami. Itu masalahnya. Dari dulu saya lihat juga dilakukan oleh teman-teman. Nah, ini kenapa, karena materi yang ada pada kita itu jelas hanya sampai di situ saja. Tidak ada program lebih dari sekadar teori itu rampung.

Seperti materi yang disampaikan guru saya itu, katakanlah dia punya 70 persen. Itulah yang diajarkan. Ketika penguasaan siswa mendekati 70 persen, ini nanti akan menjadi 70 kan? Setelah sampai 70, nanti dia akan tanya, “Setelah ini apa, Pak?” Bingung dia (guru saya) nanti. Makanya, sebelum bingung, begiktu sampai 60 persen dipotong saja (= ‘diluluskan’). Yang sepuluh persen, biar jadi hak prerogatif (istimewa) saya.

Apa itu bukan su’u-zhan?

Yaa nanti dulu. Ini adalah materi-materi evaluasi, yang saya gunakan untuk memperkuat argumen Arqam itu. Karena langkah-langkah yang dilakukan guru saya itu hampir 50 tahun tidak bisa dievaluasi. Sementara dia terus menyebarkan informasi (mengajar). Saya evaluasi juga murid-murid seniornya, ternyata hasilnya hanya seperti itu. Tidak lebih. Ada yang menunggu (komando guru besar), ada yang terus-terus mejeng, show ketrampilan mengajar. Begitu bahasa saya, kasar saja. Karena tanpa begitu, tidak ada proses introspeksi nanti.

Karena itu saya ajukan konsep bahwa kita harus mempunyai garis tahap-tahapan da’wah, menurut sunnah siapa. Jangan seperti selama ini. Guru saya dari dulu kan selalu begitu. Katanya, kita sedang mengikuti sunnah Musa, sehingga taktik dan strategi dimirip-miripkan dengan Musa. Lain hari, dia menggunakan sunnah Maryam, sehingga langkah-langkah strateginya dimirip-miripkan sunnah Maryam. Teruuuus begitu, trial and error. Dia dukung Orde Baru, itu kan termasuk (strategi) toh? Itu menurut sunnah siapa, saya nggak tahu. Yusuf, mungkin.

Jadi, tidak pernah diletakkan tahapan standar garis tempuh untuk mencapai iman itu. Saya pikir, nggak akan sampai ini. Kalau di luar saja saya sampaikan bahwa baik-buruk itu harus pakai ukuran yang pasti, di internal kok tidak ada ukuran yang jelas untuk menentukan salah dan benarnya arah da’wah. Ini saya sampaikan kepada teman-teman di Sukabumi. Sehingga saya katakan, ke depan, marilah kita letakkan garis tempuh kita (mengikuti) sunnah siapa, lalu sepakati, baru jalan. kalau itu belum disepakati, lebih baik berhenti di sini dah. Daripada carut-marut. Nah, ternyata, yaa alhamdulillah, itu belum ada yang menanggapi. Bahkan sampai kemarin-kemarin itu. Saya baru merasa ditanggapi, disetujui di komunitas ngaji itu, kalau di Jawa timur itu Alim. Kalau di Jakarta, kemarin itu (tanggal 8 Februari) saja. Setelah (gagasan dilemparkan) 4 tahun lebih. Dulu awal-awal itu, teman di Jakarta malah mengatakan, “Cak Hamid kayak nggak pernah ngaji aja, bikin garis yang nggak-nggak.”

Terus, kalau perumusan lembaga ‘Arqam’-nya itu sendiri bagaimana?

Yaa itu tadi, seperti yang saya ungkapkan. Selama melakukan evaluasi, saya bertanya kenapa sih Islam ini kok nggak tegak-tegak? Padahal oknum-oknum yang punya kerinduan untuk itu, banyak. Banyak itu yaa mulai 1300an tahun. Sebut saja Hasan Al-Banna, dan seterusnya, itu muncul, ada manusia-manusia super brilian, punya ide-ide cemerlang, ketulusan hati, bahkan dana kadang juga punya, keberanian yang cukup besar. Tapi, lagi-lagi Islam ini nggak diuntungkan. Nggak ada Islam bangkit seperti (zaman) Rasulullah. Ada apa? Ini saya evaluasi. Ini sebenarnya kan evaluasi internasional, tapi masih dalam konteks evaluasi internal. Karena kita masih cari jalan keluar kan, masih cari solusi, bagaimana ini? Saya renungkan kelompok-kelompok Islam eksternal (di luar kelolompok pengajian sendiri). Ternyata setelah 1300an tahun, hasilnya begitu. Karena saya yakin bahwa rentang kurun itu banyak orang yang punya usaha, punya kerinduan, punya cukup modal, tapi kok nggak juga (memunculkan Islam). Itulah, rupanya, kualitas manusia sejak dibikin (lalai oleh) Yahudi itu sudah seperti sampah, atau zhulumat (gelap; bodoh; tak tahu diri), atau kal-an’am (seperti hewan ternak), itu bahasa Allahnya barangkali. Sehingga, kalau toh ada satu-dua manusia super, di tengah-tengah komunitas manusia sampah itu, ya jadi tak berdaya. Mandul. Makanya mereka (manusia ‘super’ itu) saya analogkan dengan minyak wangi dan sampah. Bayangkan. Minyak wangi termahal buatan Prancis, tapi jatuhnya di pembuangan sampah di Bantar Gebang. Apa yang terjadi? Ujung-ujungnya hanya diambil pemulung, untuk dioplos dengan minyak Srimpi. (Cak Met selanjutnya suka menyebut para da’i, terutama teman-temannya sendiri, sebagai pemulung).

Terus, saya pikir, yang dilakukan Rasulullah di rumah Arqam itu apa bukan untuk mereproduksi minyak wangi dalam botol kecil menjadi besar? Itu analoginya. Sehingga kenapa kok setelah dari Arqam itu sudah layak diperintah shalat. (Berarti) kualitasnya bukan kualitas sampah lagi. Ini sudah super. Itu yang saya yakini. Sehingga, rupanya, kelemahan umat Islam selama sekian waktu itu, karena ibarat jalur gitu ya, nggak mengikuti jalur Rasulullah. Nah, Al-Qurãn yang metosisnatif itu adalah kendaraan. Umat Islam yang tidak menggunakan bus Al-Qurãn metosisnatif, tidak bisa sampai di tempat (tujuan). Saya lihat guru saya, walau sudah sampai di bus, bus way di Jakarta ini pun, rupanya kalau tidak lewat jalur itu, nggak sampai juga.

Jadi, saya simpulkan bahwa Al-Qurãn adalah satu kendaraan, dan Arqam adalah salah satu rute yang harus dilalui. Lewat mana-mana, kalau tidak melalui itu, tidak akan menjadi orang berkualitas. Tidak cocok gitu lho. Isi Al-Qurãn yang begini agung, dimasukkan ke dalam wadah yang tercemar. Nggak berfungsi jadinya.

Kalau dianalogikan dengan semua lembaga yang ada sekarang, seperti apa Darul-’Arqam itu?

Yaa nggak ada kalau sekarang sih. Ini kan lembaga pembinaan dari manusia sampah menjadi berkualitas. Kualitas di situ bukan hanya penguasaan otak, tapi attitude (sikap) itu lho. Mungkin mirip character building. Tapi bukan character building-nya Syamsul. Itu teman kita. Saya bilang sama dia, “Anda mau bentuk karakter orang, wong yang bikin saja nggak berkarakter!”

Kalau menurut buku-buku sejarah, Rasulullah bersama sejumlah sahabat ngumpul-ngumpul di rumah ‘Arqam hanya sekitar 2 tahun…

Ya. Tapi esensi Arqam itu sebenarnya sepanjang ayat turun. Begini saya melihatnya. Ayat ini turun dalam rangka innallaha khairu mãkirin. Ingat itu. Karena yang dihadapi ini kan jibãl. Al-Qurãn akan dibuat menggempur jibãl. Apa yang dilakukan di rumah ‘Arqam hanya ngaji-ngaji sederhana begitu saja? Nggak mungkin. Ini, wahyu demi wahyu ini, akan tersusun menjadi sebuah khairu mãkirin. Makanya ditangani oleh bapak-bapak dan pemuda saja.

Jadi ‘Arqam ini “lembaga makar”?

Betul. Betul. Innallaha khairu-mãkirin (dibuktikan) di situ. “Makar yang mempesona”. Saya tulis begitu. Ini lembaga makar, tapi makar yang mempesona. Perlu dikasih tahu yang mau dimakari.

Bukan makar mau bikin kacau ya?

Bukan. Sampai yang mau dimakari dikasih tahu kok, ini lho makar yang baik. Saya berani menyampaikan, karena ini makar yang indah, bukan makar yang bikin kacau.

Tapi, indah itu kan menurut orang Islam, karena mengarah pada pembentukan negara Islam.

Bukan. Kalau SBY sebagai key position sudah di-brain washing, bahwa demokrasi tidak menyelesaikan masalah, komunis tidak menyelesaikan masalah, segala agama tidak menyelesaikan masalah, sehingga sudah tidak ada pilihan lain. Sampai nanti SBY akan mengatakan, “Kalau saya dituntut oleh bangsa Indonesia, maka pemimpin yang mana pun tidak akan mampu memenuhi harapan anda, kecuali, anda lihat saja apa yang sedang dilakukan saudara-saudara kita di Aceh.” (Cak Met mengacu pada proyek yang ia tawarkan untuk Aceh di gedung DPR).

Yaa, saya harap SBY akan bersikap demikian. Karena dia dengan yang lain-lain saya lihat cuma beda-beda tipis. Kelihatan sekali bahwa tidak ada yang layak jadi presiden di negara ini; kecuali yang dengan trik-trik jahat seperti Suharto, dia bisa bertahan lama. Tapi kalau yang memenuhi harapan rakyat, yang jujur, yang shiddiq, yang amanah, tidak satu pun yang bisa dipilih. Karena kita ini sampah semua. Tapi masih ada harapan. Sedang kita lakukan prototipenya, miniaturnya, insya Allah akan segera kita perkenalkan kepada seluruh bangsa Indonesia.

Ya, tapi kan tetap tuduhannya itu nanti kita mau bikin negara Islam di Indonesia ini.

Makanya gagasan ini harus disosialisasikan, misalnya di televisi, di koran-koran, supaya tidak salah paham.

Kalau tuduhan itu tetap ada?

O, pasti. Umat-umat grass root itu pasti, karena dia nggak sambung (tak mengerti). Nggak sambung, sementara. Sementara. Tapi apalah artinya? Itu tugas para pendeta untuk menyelesaikan. Merekalah yang harus bicara bahwa umat Kristen dan lain-lain itu sama, senasib dengan umat Islam, jadi korban Yahudi. Karena itu sekarang kita mau membangun daulah kekuasaan Allah, bukan daulah kekuasaan orang Islam, di bumi Indonesia.

Satu lagi, soal Yahudi, kan banyak orang membantah. Masa sih pengaruh Yahudi begitu besarnya di dunia ini?

Yaa itu memang, terpaksa, kalau kita ngomong Yahudi itu akan kita pilih orangnya lah. Nggak sembarang orang kita omongkan Yahudi. Nggak sambung! Mengapa? Karena Yahudi itu sudah begitu lama menyembunyikan identitasnya dengan segala triknya itu kan? Sangat lihai. Sehingga di pesantren, di masjid mana pun, itu tidak pernah men-detailiring (merinci; mengupas tuntas) Yahudi itu siapa. Bagaimana sepak terjang mereka dari masa ke masa, itu nggak ada (yang bongkar). Karena tidak ada stimulan atau konsideran, satu kata pun, di dalam Al-Qurãn maupun Injil, sehingga blank (kosong; tak tahu apa-apa). Manusia ini nggak tahu siapa Yahudi. Itu yang sering saya katakan. Kita ini, karena tidak kenal lawan… Lawan itu kan kawan bermain, yang mestinya fair play (jujur), tapi karena Yahudi culas, kita jadi tidak tahu lawan. Akibatnya, kita dikerjain oleh lawan, sehingga kita tidak tahu kawan dan tidak tahu kerjaan. Akibatnya, aktifitas kita jadi jauh dari program Al-Kitab. Jadi ngawur. Yang bukan kerjaannya, dikerjain. Disuruh melakukan tugasnya malah nggak (dikerjakan).

Kalau dibandingkan dengan pesantren, ada nggak kesetaraan pesantren dengan Darul-’Arqam?

Sama sekali ndak. Sama sekali ndak.

Tapi di sana kan terjadi semacam character building itu?

Sama sekali ndak. Karena dia hidup dalam sebuah sistem, dan dia tidak ada target untuk mengubah sebuah sistem. Dia hanya meramaikan sistem yang jibãl (seperti gunung; piramidal; yang di atas menggencet yang di bawah) itu. Dia meramaikan, mengisi jibãl itu, agar lebih riuh rendah. Sehingga walaupun ratusan tahun ada pesantren, nggak membawa pengaruh apa-apa. Lagian, bedanya lagi, di pesantren itu yang dididik anak-anak kecil. Sedangkan di Arqam yang dididik bapak-bapak dan pemuda-pemuda dewasa. Fungsi pesantren itu hanya menyampaikan informasi agama. Sedangkan fungsi Arqam itu preparation (persiapan) untuk melakukan pembongkaran. Revolusi. Fungsi pesantren, yaa kayak kampus itu. Meramaikan, mengisi jibãl. Padahal yang mau dicapai Al-Qurãn adalah meratakan jibãl itu.

Kalau kalangan yang cenderung menyampaikan Islam melalui jalur budaya (kultural), bagaimana itu?

Yaa itu memang problemnya kiai. Sama dengan problemnya pendeta tadi. Tugas dia …

Apakah mereka tidak mewkaili orang Indonesia? Orang Indonesia kan takut dengan istilah revolusi?

Saya sudah presentasikan puluhan kali di hadapan tokoh-tokoh dan mahasiswa. Saya bilang revolusi itu sama dengan taubat. Tak ada yang menolak. Itu tokoh dan mahasiswa ya? Tapi nggak juga. Saya pernah ngobrol dengan sopir dan tukang kontrol bis di Senayan, dengan tukang gorengan. Mereka nggak ngeri kok dengan revolusi, kalau yang dimaksud adalah taubat. Wong taubat itu ternyata rumusnya sama dengan revolusi. Apalagi diikuti penjelasan yang yang direvolusi itu pandangan, paradigmanya… duh, tidak dalam artian revolusi dengan membawa parang. Kata si sopir itu malah harus … kalau revolusi pandangan mah. Memang harus, karena bangsa ini sudah nggak bermoral.

Jadi, solusi untuk bangsa ini adalah revolusi, yang sama dengan taubat itu, ya? Tepatnya taubat dengan cara menelusuri jati diri bangsa, mengetahui ilmu di kepala bangsa, untuk menyadari kejahatan Yahudi, dan akhirnya berusaha memungsikan wahyu Allah yang keasliannya terekam dalam Al-Qurãn. Lantas, bagaimana definsi taubat itu menurut anda? Soalnya, selama ini kan saya sering dengar juga orang ngomong soal taubat nasional.

Kalau dirumuskan dalam bahasa, taubat itu kan ucapannya astaghfirullaha. Dalam praktik selama ini, kalau berbuat dosa orang bilang astaghfirullahal-’azhim. Beres. Seolah-olah sudah diampuni. Itu pemikiran yang tidak metodis. Kalau dipahami secara metodis, astaghfirullaha itu bukan sekadar minta diampuni; tapi berubahlah, rombaklah. Itu konkret. Kalau diampuni itu kan rasanya sudah diampuni. Apa itu? Imajinatif. Tapi kalau ubahlah, lakukanlah revolusi, itu memang harus nyata. Harus nyata. Sehingga, dalam konteks taubat nasional, perubahan bangsa ini harus nyata. Rumusan taubat yang lima itu, yang saya ajukan, itu kan Al-Qurãn yang mengajukan. Tapi bicara Al-Qurãn, versi siapa? Apakah Al-Qurãn versi NU, Muhammadiyah, Syi’ah? Jadi persoalannya sekarang adalah Al-Qurãn yang mana? Maka, yaa Al-Qurãn yang … nggak usah direkayasa dah. Aplikasi Al-Qurãn yang nggak usah direkayasa. Duplikasinya saja. Jangan bikin eksperimen-eksperimen yang sudah terbukti selama berabad-abad gagal. Jadi duplikatif saja, uswahis (sesuai uswah) saja. Nah, apa ‘delik-delik’ uswahis itu? Ternayta ada Goa Hiranya, ada Arqamnya. Maka pasanglah Arqam sebagai sarana penyelesaian juga, karena konteks uswahis ini.

Jadi taubat itu revolusi. Untuk itu ada lima komponen. Itu rumusan Al-Qurãn yang sangat rasional. Pertama, langkah taubat itu harus (1) introspektif. Tanpa melakukan introspeksi, apa perlu melakukan pekerjaan-pekerjaan lain? Nah, introspeksi dilakukan untuk mencari solusi. Maka langkah-langkah yang dilakukan harus (2) solutif. Nah, solusi jangan rekayasa, karena sudah terlalu panjang sejarah rekayasa ini. Makanya foto kopi sajalah. Ini berlaku untuk umum. Mau nasionalis, komunis, ayo ajukan tokoh-tokoh yang anda idolakan. Sehingga, yang tadinya saya ajukan untuk kalangan internal, akhirnya bisa internasional. Untuk internasional, ayo bawa ke sini konsep Komunis atau apa. Nasionalis, misalnya yang mau memperjuangkan konsep Bung Karno, ayo konsep Bung Karno bawa ke sini. Prersentasikan, biar ditonton seluruh bangsa Indonesia kan? Nah, selanjutnya, langkah taubat itu harus (3) ekspektatif. Kenapa? Karena da’wah orang-orang yang keluar dari Arqam itu memang melambungkan harapan orang-orang yang mendengarnya, termasuk Anshar. Persoalan di Yatsrib nggak bisa diselesaikan, kok ada kelompok pengajian (Nabi Muhammad) yang bicara ekonomi, politik, penataan hidup, yang beda dengan kenyataan yang ada. Ini kan belum apa-apa, belum kenal da’inya pun harapan mereka sudah terlambungkan. Basyiran, itulah intinya. Jadi, materi da’wah itu harus melambungkan harapan orang yang mendengarnya. Itu indikasi da’i yang keluar dari Arqam. Kalau da’i biasa, yaa melambung juga, tapi melambungnya (karena orang dijanjikan) dapat pahala. Wah, nanti saya dapat tabungan pahala banyak. Begitulah kira-kira.

Tapi, dengan ekspektatif yang saya maksud adalah da’i memberikan nadziran, peringatan bahwa demokrasi, komunis brengsek… Harusnya begitu sistematikanya. Nah, Madinatul-Munawwarah sebagai jabawan, sebagai basyiran-(kabar gembira)-nya. Itulah sebabnya saya susun materi brain washing (cuci otak), sebagai basyiran wa nadziran, dengan judul Revolusi Pancasila. Tanpa cuci otak dulu, itu sulit. Orang nggak tahu diri, nggak merasa lapar, nggak merasa sakit, tiba-tiba disodori obat, ya nggak mau. Maka bikin dulu lah dia sadar diri, anda itu terhipnotis, anda itu sakit, kita ini sekarat, akibat komunis, akibat Plato, idealisme. Itu yang harus dilakukan dulu, kayaknya.

Jadi, saya lihat, di antara teman-teman belum ada yang menyadari bahwa da’wah yang terdiri dari nadziran itu adalah mengajak orang mengenal realitas hidup, bagaimana demokrasi, bagaimana komunis, itu harus diekspose dulu. Itulah tantangan kita, musuh kita, yang membuat Islam nggak berfungsi itu ya mereka ini. Yang menindih Islam, sehingga tidak bisa bergerak, tidak bisa bernafas, ya mereka ini. Raksasa yang dua ini, yang sudah ada sejak dulu. Saya melihat filosofi pertempuran dari dulu ya itu-itu saja. Itu harus diperjelas, supaya kita tahu siapa kawan siapa lawan. Kalau tahu lawan, kita bisa bikin strategi, walaupun baru secara ideologis.

Jadi harus nadziran (peringatan; ancaman) dulu. Sebab, janji jannah (sorga), basyiran itu kalau tiba-tiba saja, itu nggak ekspektatif lho. Tapi kalau sudah kita gambarkan bahwa demokrasi itu bobrok, baru mereka sadar. Nah, setelah itu baru kita ajukan masyarakat Madani sebagai alternatif.

Tapi sekarang kan ada anggapan bahwa masyarakat Madani itu adalah masyarakat demokratis.

Yaa begitu memang. Demokrasi itu memang argumentatif, intuitif, halusinatif. Wah, susah ini saya cari istilah. Yang jelas demokrasi itu nggak ada standar book-nya. Nggak ada pembuktian sejarahnya. Kan lucu ini. Gila banget. Orang bekerja kok nggak ada blue print-nya, bikin rumah kok nggak ada gambarnya. Coba saya minta, ada nggak dalam sejarah suatu generasi yang pernah berhasil, terwujud impiannya, kaena impian bangsa mana pun sama, yaitu adil, makmur dan sejahtera begitu, akibat teori demokrasi yang tidak ada bukunya tadi. Ya sudah buktinya saja, ada nggak? Di negara mana? Tokohnya siapa? Kapan? Ya satu pun tokoh demokrat nggak ada yang berani menunjuk negara mana yang dimaksud demokratis itu. Artinya apa ini? Gila banget. Teorinya nggak ada, pembuktiannya nggak ada. Ini harus diberitakan kepada bangsa ini.

Ya, tapi sekarang ini justru bangsa ini sedang mengangung-agungkan demokrasi.

Lha iya, karena mereka nggak tahu cara berpikir yang metosisnatif.

Artinya, gerakan anda ini akan disebut makar dalam sudut pandang mereka.

Dalam sudut pandang kampiun demokrasi? Amerika? Lha iya lah, pasti. Tapi, yakinlah wa qul ja’al-haqqu wa zahaqal-bathilu, innal-bathila kana zahuqan (tegaskan bahwa yang banar pasti muncul, dan yang salah pasti hancur, karena yang salah itu memang berbakat hancur). Yang penting kita persiapkan diri saja. Nggak usah takut Amerika. Kalau pada zamannya Rasulullah takut sama Romawi (Blok Barat) dan Persia Baru (Blok Timur), ya nggak bakal jadi. Lakukan saja seperti yang dilakukan Rasulullah. Nanti akan ada isyarat kemunculan yang haqq itu. Isyarat saja, sudah cukup membikin mereka kalang kabut. Entah Cina dan Korea berhadapan dengan Amerika, atau apa lah. Itu urusan gampang. Yang penting itu saja dulu. Tegakkan haqq. Yang bathil itu urusanKu, kata Allah.

Tapi tegakkan haqq sesuai prosedur yang benar?

He’eh, melalu prosedur yang benar. Yaitu kendaraannya Al-Qurãn yang metosisnatif, rutenya antara lain adalah Arqam. Setelah itu ada shalat, zakat. Kalau sudah zakat, berarti anggota masyarakat sudah komplit, ada sistem ekonomi, ada ibu-ibu dan anak-anak; sehingga sistem pendidikan juga harus ditegakkan, hukum sudah mengikuti. Tahun kesepuluh sampai ketiga belas zaman Rasulullah itu sudah terbentuk itu, prototipe masyarakat Madinah, di Makkah akhir. Nah, kita sekarang, di luar komunitas pengajian, sudah ketinggalan belasan abad. Sementara komunitas pengajian, sudah ketinggalan sekitar 44 tahun (2005). Dengan demikian, kita harus kerja eskalatif, mengerahkan segala daya dan dana, karena 6 tahun lagi sudah habis satu generasi. Karena itu harus ada eskalasi, percepatan. Artinya, kalau Rasulullah cuma 13 tahun, kita kok sudah 44 tahun belum apa-apa. Masih saja dengan cara-cara prosedur lama, ya sudah nggak akan nyampe lah. Harusnya kan lari.

Kalau Arqam ini sudah terbentuk, kata-kanlah di Aceh, berproses, berjalan, lalu dari sana nanti lahir para da’i, berarti para da’i yang di luar Arqam tidak punya hak untuk kerja?

Jadi, mungkin dari Arqam itu melahirkan da’i dan warga masyarakat berkualitas. Tentu da’i yang berkualitas melakukan sosialisasi, kayak kaum misionaris.

Berarti mereka harus ‘perang’ lagi?

Lha iya.

Berarti mereka harus berkeliling seperti anda?

Lha iya. Mereka seperti para da’i Rasulullah, menyebar ke mana-mana; yang akhirnya menyebabkan orang berbondong-bondong menemui Rasulullah untuk mengatakan, “Kalau mereka bilang begitu, ya jangan kecil-kecilan doong. Ayo kita dirikan saja di Jakarta.” Misalnya. Begitu di Sumatera. Begitu di Surabaya. Di propinsi-propinsi. Bisa saja toh berproses seperti itu? Karena dengan cara-cara lama masalah tidak bisa diatasi, karena terlalu banyak pencoleng, dll. Sementara di Arqam itu makmur terus, surplus.

Bukankah sudah ada orang-orang yang melakukan itu? Isa Bugis, misalnya, sudah memboyong banyak orang ke Bandar Lampung?

O, itu beda. Mereka itu pindah ke Bandang Lampung sambil membayangkan hijrah ke Madinah. Lha wong kualitas orangnya saja masih sampah, sudah diajak hijrah. Nggak bisa. Artinya apa? Nggak uswahis itu lho. Hijrah itu kan setelah orang-orang dibina. Paradigma hidupnya sudah berubah. Kalau dari Sukabumi, Jakarta, Velbak, tahu-tahu digiring ke sana, ya nggak bisa.

Bagaimana dengan organisai Arqam yang pernah (dan masih) ada di Malaysia? Mereka kan jadi terkenal karena keberhasilan di bidang ekonomi?

Ya banyak lah organisasi yang mengatasna-makan Arqam, tapi terus miring. Arqamnya Malaysia sukses di bidang ekonomi, tapi ekonomi kapitalis juga.

Bagaimana kalau anda dicap sama dengan mereka, karena kesamaan nama?

Ya, nggak apa-apa. Yang penting Arqam yang saya ajukan ini Arqam yang bisa memunculkan Al-Qurãn. Tapi kalau risih dengan nama, bisa saja digunakan nama lain. Ganti saja misalnya proyek pembinaan bakti bangsa, atau apa lah.

Tapi esensinya sama juga kan?

Iya. Tapi bukan sama dengan Arqam yang di Malaysia itu.

Terakhir, kalau usaha anda ini ternyata kemudian gagal…

Di RI-1?

Di segala lapisan! Misalnya anda ke DPR, DPR ternyata tidak mau membahas …

Saya masih melihat empat-lima jalur. Kalau yang menjadi target SBY. Dan itu harus dicoba semua. MUI, misalnya. Kemudian, kabinet, De-pag, LSM, terus satu lagi itu… ibunya! Jalur keluarga harus saya manfaatkan.

Maksudnya para istri?

Nggak. Ibu kandung SBY bener, di kampung sana. Saya melihat kok, SBY itu pun kayak anak kecil kan? Sama-sama nggak bisa membuat kebijakan yang absolut. Artinya, kalau dia bingung, ibunya ngomong, salah-salah malah mau (mengikuti).

Ya, omongan gampangnya, semua jalur sudah ditempuh, dan gagal…Kan kembali kepada pribadi, apakah nanti hanya akan jadi wacana pribadi?

Nggak. Komitmen saya kan umur sudah 55 tahun. Kesempatan saya untuk liya’buduni (untuk mengabdiKu/Allah) itu kan hanya tinggal sekitar 5 tahun. Saya tidak akan berhenti sebelum saya melaksanakan syariat-syariat agama. Kalau berhenti, saya celaka. Saya takut betul berhenti. Karena, selama saya mempertahankan keyakinan satu kesempatan untuk tegaknya shalat, saya memperjuangkan sedemikian rupa agar saya bisa nyicipi shalat yang benar. Kata Hadis, nanti yang pertama dicek itu kan kualitas shalat. Itu baik, benar semua. Itu salah, buang semua. Sampah semua. Sekarang, fungsi shalat kita sudah tahu: mi’rajul-mu’minin, imaduddin, tanha ‘anil-fajsya’ wal munkar, dan lain-lain. Kalau shalat kita tidak berfungsi, berarti nilainya nol. Sehingga, dengan itu, hatta (sampai) tersisa detik terakhir nafas saya, kalau kondisi itu belum tegak, saya nggak akan berhenti.

Sebenarnya pertanyaan saya itu mengarah pada… nanti kalau semua gagal, anda frustrasi nggak?

Ou, nggaaak. Ndak mungkin! Ndak mungkin. Poko’e selama belum berfungsi hidup saya sebagaimana mestinya… wa ma khalaqtul-jinna wal-insa illa li-ya’buduni, saya dibikin oleh Allah ini untuk berbuat pas menurut maunya Allah, sebagaimana dicontohkan, atau episode yang diberikan Allah pada periode Muhammad. Sudah, nggak ada lain. Sebab kan jalur itu cuma ada dua. Innamal-a’malu bi-niyyati, wa innama li-kul-limri’in ma nawa. Faman kanat hijratuhu ilallahi fa-hijratuhu ilallahi, wa man kanat hijratuhu iladdun-ya yushibuha, aw ilamra’atin yankihuha. Kalau mau hijrah karena Allah, ya sudah itu yang ditempuh sampai habis. Kalau tidak, jatuhnya ya kepada memburu dunia atau cewek. Jangan coba-coba melakukan penawaran, seolah-olah ada alternatif ketiga. Nggak ada boo! Kalau mau jalur yang satu, lakukan kayak Rasul, berjuang habis-habisan. Kalau nggak, nggak ada diplomasi. Jatuh ke pilihan kedua (dunia/cewek).

Begini. Seperti yang sering kita dengar diungkapkan para mubaligh, Nabi Muhammad itu berda’wah untuk dunia. Kalau dunia menolak, ya untuk bangsa Arab. Kalau bangsa Arab tak mau, ya untuk Bani Hasyim. Kalau Bani Hasyim tak sudi, ya untuk keluarga Muhammad sendiri. Kalau keluarga pun ogah, ya sudah untuk diri sendiri saja. Bagaimana kalau anda menghadapi keadaan yang terakhir?

Saya tidak menerima argumentasi itu. Saya hanya memfoto copy Rasulullah Muhammad. Argumentasi apa pun akan saya tolak.

Artinya, anda merasa mustahil kalau semua orang akan menolak, karena Nabi Muhammad ternyata berhasil, tidak ditolak oleh semua orang?

Iya. Makanya, kalau saya sudah foto copy, sudah melakukan duplikasi, rasanya kalau Allah pun tidak mengabulkan, akan saya salahkan Dia. Maksdunya, saking mantapnya gitu ya!

Ya karena itu kan kehendak Dia, begitu kan?

Ya iya. Allah sudah bikin patron (pola; contoh). Allah sudah bikin Muhammad dengan jalur seperti itu. Kenapa nggak bim salabim saja? Nggak gratis saja? Ya nggak. Harus babak-belur dulu. Antara lain lewat Arqam. Kalau jalurnya sudah ditempuh, lalu nggak berhasil juga, harus lewat mana lagi? Saya nggak lihat jalur lain. Lewat mana? Eksperimen sudah dilakukan saudara-saudara dari generasi ke generasi, nggak bisa juga. Yaa, sementara ini yang saya lihat untuk kalangan internal pengajian saya, kelemahannya pada jalur yang tidak digunakan. Sedangkan untuk pihak luar, mereka tidak kenal kendaraan dan jalur.

Sebetulnya saya sudah cukup puas dengan jawaban-jawaban anda. Tapi kok masih ingin menggoda. Begini. Anda kan menawarkan gagasan ke berbagai kalangan. Apa tidak takut bila di antara mereka ada yang menggunakan kekuasaan, tepatnya kekuatan fisik? Misalnya, seperti Farid Faqih, anda dikemplangi dulu, urusan hukum belakangan?

O, begitu? Itu sih jangankan 4-5 orang, seratus orang akan saya hadapi. Saya siap kok. Ini terlepas dari menang atau kalah ya? Saya akan hadapi. Wong saya memperjuangkan wahyu Allah, kok takut?

Bagaimana kalau yang anda lakukan ini berdampak buruk pada komunitas pengajian anda, misalnya dicap sama dengan JI (Jamaah Islamiyah)?

Yaa, itu memang yang ditakutkan sebagian kawan-kawan yang pengecut. Tapi yang saya lakukan ini kan tidak menjurus pada pembentukan kelompok ekslusif. Saya hanya menawar-kan solusi untuk bangsa, bukan untuk kelompok saya. Juga bukan untuk orang Islam saja. Untuk bangsa Indonesia!∆

Tidak ada komentar:

Posting Komentar